Desa Bujak, Kecamatan Batukeliang, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Barat, memiliki sumber daya manusia (NTB) yang terampil, kreatif, dan inovatif. Mereka mampu menciptakan ragam kerajinan bambu yang cukup menarik dan bernilai seni tinggi berkat tangan-tangan terampil yang diwariskan nenek moyang mereka sejak jaman dulu.
Pagar bambu, model sarang burung berbagi, lampu hias, berbagai jenis berugak (sejenis gazebo), rumah panggung bambu tradisional, dan sapu lantai hanyalah beberapa contohnya. Berbagai kreasi bambu didesain semenarik mungkin agar menarik pembeli.
Misalnya, Salihin, seorang pengrajin bambu dari desa terdekat, membenarkan bahwa berbagai kerajinan tangan berbahan dasar bambu dapat diproduksi dan berkontribusi pada perekonomian setempat. Tujuan utama kerajinan bambu tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal di Pulau Lombok, seperti sejumlah rumah makan atau restoran, tetapi juga untuk memasarkan ke Bali, Sumbawa, Bima, dan Dompu.
Menurut Muslihin, harga bervariasi sesuai dengan jenis berugak serta jumlah tiang dan relief yang diinginkan pelanggan. Ia mencontohkan speedboat dengan empat tiang dan motif standar, dengan motif bisa menelan biaya hingga Rp. 2.5 juta.
“Harga tersebut belum termasuk ongkos kirim jika jaraknya pendek,” kata pengrajin tersebut kepada Gatra.com, Minggu (4/4).
Salihin menambahkan, harga satu berugak dengan lima tiang (skelima) dan sekenem dengan enam tiang berkisar antara Rp. 3 juta dan Rp. 3,5 juta, ditambah biaya pengiriman untuk pelanggan yang berada di luar lokasi produksi.
“Namun untuk wilayah Pulau Sumbawa, baik di Sumbawa, Bima, atau Dompu, kami pengrajin di sini menyepakati harga jual antara Rp 3 juta hingga Rp 6 juta, sudah termasuk ongkos kirim dan perakitan kembali di tempat tujuan,” ucapnya. Salihin, yang telah menjalankan pekerjaan turun-temurun orangtuanya selama kurang lebih lima tahun.
Salihin, yang mewakili pengrajin desa, menyayangkan penurunan pesanan menyusul maraknya virus corona. Sebelum korona datang, order dari berbagai daerah relatif tidak berbelit-belit sehingga pendapatan pengrajin meningkat.
“Namun sejak datangnya virus Corona, baik jumlah pesanan yang diterima pengrajin maupun pendapatannya menurun. Memang usaha kerajinan bambu ini menjadi satu-satunya sumber pendapatan kami,” jelas Salihin.
Selain itu, pengrajin yang ramah ini mengungkit pengabaian modal usaha oleh pemerintah daerah dan akses pasar yang lamban selama pandemi corona. Salihin menegaskan bahwa pemerintah hanya memiliki wacana yang menjanjikan tetapi gagal mewujudkannya.
“Ya suka atau tidak suka, kita harus mengamankan pinjaman bank kita sendiri. Sebaliknya, bank telah mempersingkat proses mendapatkan pinjaman modal. Kalaupun pinjaman itu dicicil, yang penting adalah upaya kolaboratif kita. lanjutkan, “kata Salihin.