Transparansi data menjadi penting.
Tidak ada persyaratan impor yang dipenuhi oleh masing-masing dari tiga metrik yang digunakan untuk menilai impor.
- Pemerintah tidak memiliki insentif untuk mengimpor beras saat ini.
- Stok beras yang ada cukup untuk memenuhi kebutuhan negara selama sepuluh sampai sebelas bulan, dan harga terus menurun.
- Transparansi data dan kerja sama antarlembaga diperlukan.
Untuk sementara, keributan atas usulan Presiden Joko Widodo untuk mengimpor 1 juta ton beras surut setelah ia menyatakan tidak akan ada impor hingga Juni 2021. Presiden mengarahkan Menteri Keuangan untuk menyiapkan anggaran yang dibutuhkan guna memastikan penyerapan beras. gabah dan beras petani. Terkait nota kesepahaman (MoU) dengan Thailand dan Vietnam untuk pasokan beras, Presiden mengklaim hal itu sebagai langkah pencegahan karena ketidakpastian seputar pandemi Covid-19.
Tingkah laku Presiden ini patut dipuji. Namun, transparansi pemerintah tetap menjadi perhatian utama. Hingga saat ini, masyarakat hanya diberi satu penjelasan oleh Mendag M. Lutfi: impor untuk menopang cadangan beras pemerintah (CBP), baik dari sisi stok besi maupun untuk meningkatkan pengadaan beras Bulog. Lutfi khawatir pengadaan beras Bulog akan stagnan sehingga stok beras hanya 0,5 juta ton. Sementara ukuran stockpile yang optimal harus antara 1 hingga 1,5 juta ton.
Secara historis, pemerintah menghitung impor beras menggunakan tiga metrik (Pelitasari, 2021). Sebagai permulaan, jumlah gabah / gabah yang diproduksi atau bertambah berdasarkan data Ramalan Nomor 1 Badan Pusat Statistik (BPS) yang dipublikasikan pada minggu pertama bulan Juli. Kedua, jumlah beras yang disimpan di Bulog ditentukan dengan mengukur kebutuhan minimal enam bulan pengiriman. Ketiga, harga eceran beras medium 1,5 kali lipat dari harga biasa, yang merupakan harga rata-rata beras medium selama tiga bulan berturut-turut sebelum harga naik.
Setidaknya dua dari tiga indikator harus dipenuhi sebelum impor dapat disetujui. Ketiga metrik tersebut mencerminkan rantai beras dan pemangku kepentingan dari sudut pandang kelembagaan: Kementerian Pertanian, Bulog, dan Kementerian Perdagangan. Selain itu, ketiga entitas ini melayani produsen, negara bagian atau pemerintah, dan konsumen.
Jika ketiga indikator itu digunakan, saat ini tidak disarankan untuk mengimpor beras. Selain bertepatan dengan panen raya, menurut BPS (Maret 2021), produksi beras Januari-April 2021 diperkirakan mencapai 14,56 juta ton, naik dari 11,46 juta ton pada 2020 dan 13,63 juta ton pada 2019. Hal ini karena panen raya. daerah telah berkembang.
Selain itu, stok beras Bulog meningkat menjadi 883.575 ton, yang terdiri dari cadangan beras pemerintah 859.877 ton dan beras komersial 23.706 ton. Dengan distribusi harian Bulog untuk kebutuhan aktivitas pasar / ketersediaan pasokan dan stabilisasi harga (KPSH) sekitar 80-85 ribu ton per bulan pada tahun 2020, stok ini cukup untuk memenuhi kebutuhan sepuluh hingga sebelas bulan.
Dari sisi harga, BPS mencatat harga Beras pada Februari 2021 lebih rendah dibandingkan pada Januari atau periode yang sama pada 2020. Harga beras medium dan premium mengalami penurunan selama ini. Harga beras giling juga turun, baik yang digiling maupun yang dipanen kering. Selain itu, penggilingan beras dan pedagang mengeluhkan kondisi pasar yang lesu. Tidak hanya daya beli yang belum sepenuhnya pulih akibat pandemi, tetapi kelebihan produksi gabah, instrumen harga eceran yang tinggi, dan operasi pasar sepanjang tahun telah mengakibatkan harga beras tertahan atau stabil.
Tak satu pun dari tiga metrik tersebut memenuhi salah satu persyaratan impor.
Menteri Lutfi prihatin dengan Bulog yang kekurangan beras. Stok beras yang rendah terjadi karena beberapa hal, antara lain rendahnya stok pada akhir tahun 2020 sebesar 981.547 ton, lebih sedikit dibandingkan dengan stok pada akhir tahun 2019 (2.024.006 ton) dan 2018 (2.024.006 ton) (2.194.009 ton). Pada 2017, stok akhir tahun sebanding (960.345 ton). Saham ini dianggap berisiko rendah. Jika terjadi kegagalan bisnis, kemampuan pemerintah untuk ikut campur akan dibatasi. Dari sudut pandang ini, usulan pemerintah untuk menambah persediaan tampaknya bisa diterima. Namun, hal ini juga menunjukkan bahwa pemerintah tidak peduli dengan keadaan tersebut.
Pemerintah tampaknya masih memandang Bulog melayani gerai rutin Raskin atau Rastra dengan tarif 250 ribu ton per bulan, menyiratkan stok minimal enam bulan sebanyak 1,5 juta ton. Memang Raskin atau Rastra sudah dihapuskan pada tahun 2017 dan digantikan oleh bantuan pangan nontunai yang berganti nama menjadi Program Pangan Pokok pada tahun 2020. Akibatnya, jika penyaluran Raskin / Rastra rata-rata 2,82 juta ton dari tahun 2010 hingga 2016, sudah nol sejak tahun lalu. Bagi Bulog, kebutuhan mendesaknya adalah untuk mengonsumsi sisa beras impor sebanyak 279.744 ton dan beras dalam negeri 172.988 ton pada tahun 2018 dan 2019. Jika tidak segera diedarkan, beras tersebut akan busuk. Mengapa kami tidak dapat menemukan solusi?
Ini sekali lagi menyoroti kurangnya akuntabilitas pemerintah dalam mempromosikan proposal impor kali ini. Transparansi dalam pengadaan barang dan jasa, termasuk impor, sangatlah penting. Catatan terbuka, sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Pengungkapan Informasi Publik, memenuhi hak publik atas informasi. Syak cenderung beranggapan bahwa korupsi adalah suatu kemungkinan dan harus dihindari. Selain itu, transparansi ini menghilangkan gagasan bahwa impor adalah cara yang nyaman untuk menghasilkan sewa.
Kecurigaan ini tak lepas dari penguasaan impor pangan yang berbelit-belit selama ini, yang selalu diwarnai dengan kerumitan. Alasan skeptisisme sangat kuat: perbedaan harga antara beras di pasar global dan pasar domestik sangat besar. Indexmundi memperkirakan harga beras Thailand (pecahan 5 persen, free on board) akan mencapai US $ 557 per ton atau Rp. 8.020 per kilogram pada Februari 2021. Menurut FAO, harga beras Vietnam sekitar US $ 486,6-507,3 per ton atau Rp7.000-7.300 per kilogram dalam waktu yang bersamaan. Bahkan setelah memperhitungkan asuransi, tarif transportasi, biaya bongkar muat, dan sebagainya, importir mempertahankan margin keuntungan yang cukup besar.
Kontroversi tentang impor beras dan pertengkaran pejabat sekali lagi mengungkapkan betapa tidak memadainya kerja sama antarlembaga. Kerentanan ini kemudian menjadi pendorong di balik kemudahan pemasangan keran impor. Untuk mencegah hal tersebut terulang kembali, jangan bosan dengan pengingat tentang perlunya lembaga pangan, sebagaimana diamanatkan oleh UU Udang Pangan. Lembaga ini nantinya bertugas merumuskan kebijakan pangan, mengatur, memadukan, menyelaraskan, dan mengawasi pelaksanaan kebijakan pangan nasional dan daerah, serta melaksanakan beberapa tugas terkait pangan di tingkat nasional.
Setelah Presiden Joko Widodo membubarkan Dewan Ketahanan Pangan tahun lalu, pembentukan lembaga ini menjadi kritis. Tidak hanya menjadi sentra di kawasan tengah, namun juga sebagai penyalur kebijakan pangan nasional, termasuk masalah ekspor-impor. Bentuk lembaga ini juga ada di berbagai negara. Pertimbangkan Thailand. Lembaga serupa ada dalam bentuk Komisi Pangan Nasional (NFC) yang membawahi 11 kementerian. Masakan Thailand berkembang pesat sebagai hasil dari kesuksesan NFC. Proposal yang sangat dipublikasikan untuk mengimpor beras dapat berfungsi sebagai katalisator untuk menyelesaikan krisis pangan kita.